Sabtu, 18 Desember 2010

morfem

TATARAN LINGUISTIK : MORFOLOGI

A. Morfem
Tata bahasa tradisional tidak mengenal konsep maupun istilah morfem, sebabmorfem bukan merupakan satuan dalam sintaksis, dan tidak semua morfem mempunyai makna secara filosofis. Konsep morfem baru diperkenalkan oleh kaum strukturalis pada awal abad kedua puluh ini.
1. Identifikasi Morfem
Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus membandingkan bentuk tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir secara berulang-ulang dengan bentuk lain, maka bentuk tersebut adalah sebuah morfem
Jadi, kesamaan arti dan kesamaan bentuk merupakan ciri atau identitas sebuah morfem.
2. Morf dan Atomorf
Sudah disebutkan bahwa morfem adalah bentuk yang sama, yang terdapat berulang-ulang dalam satuan bentuk yang lain. Bentuk-bentu krealisasi yang berlainan dari morfem yang sama itu disebut alomorf. Dengan perkataan lain alomorf adalah perwu­judan konkret (di dalam pertuturan) dari sebuah morfem. Jadi, setiap morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, entah dua, atau juga enam buah Selain itu bisa iuga dikatakan morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya; sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya.
3. Klasifikasi Morfem
Morfem-morfem dalam setiap bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain berdasarkan kebebasannya, keutuhannya, maknanya dan sebagainya.
1. Morfem Bebas dan Morfem Terikat
Morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncut dalam pertuturan. Misalnya, bentuk pulang, makan, rumah, dan bagus. Morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan. Semua afiks dalam bahasa Indonesia adalah morfem terikat.
Berkenaan dengan morfem terikat ini dalam bahasa Indonesia ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Yaitu:
Pertama, bentuk-bentuk seperti juang, henti, gaul, dan baur juga termasuk morfem terikat, karena bentuk-bentuk tersebut, meskipun bukan afiks, tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa terlebih dahulu mengalami proses morfologi. Bentuk-bentuk seperti ini lazim disebut bentuk prakategorial.
Kedua, sehubungan dengan istilah prakategorial di atas, menurut konsep Vefiaar (1978) bentuk-bentuk seperti baca, tulis, dan tendang juga termasuk bentuk prakategorial, karena bentuk-bentuk tersebut baru merupakan ”pangkal” kata, sehingga baru bisa muncul dalam pertuturan ,sesudah mengalami proses morfologi.
Ketiga, bentuk-bentuk seperti renta (yang hanya muncul dalam tua renta), kerontang (yang hanya muncul dalam kering kerontang), dan bugar (yang hanya muncul dalam segar bugar) juga termasuk morfem terikat. Lalu, karena hanya bisa muncul dalam pasangan tertentu, maka bentuk-bentuk tersebut disebut juga morfem unik.
Keempat, bentuk-bentuk yang tennasuk preposisi dan konjungsi, seperti ke, dari; pada, dan, kalau, dan atau secara morfologis termasuk morfem bebas, tetapi secara sintaksis ; merupakan bentuk terikat.
Kelima, yang disebut klitika merupakan morfem yang agak sukar ditentukan statusnya; apakah terikat atau bebas. Klitika adalah bentuk­-bentuk singkat, biasanya hanya satu silabel, secara fonologis tidak mendapat tekanan, kemunculannya dalam pertuturan selalu melekat pada bentuk lain, tetapi dapat dipisahkan. Umpamanya, klitika -lah dalam bahasa Indonesia.
Proklitika adalah klitika yang berposisi di muka kata yang diikuti, seperti ku dan kau pada konstruksi kubawa dan kuambil. Sedangkan enlditika adalah klitika yang berposisi di belakang kata yang ditekati, seperti -lah, -nya, dan –ku.
2. Morfem Utuh dan Morfem Terbagi
Pembedaan morfem utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimiliki morfem tersebut: apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi, karena disisipi morfem lain. Semua morfem dasar bebas yang dibicarakan pada 4.1.3.1 adalah termasuk morfem utuh, seperti {meja}, {kursi}, {kecil}, (taut), dan {pinsil}. Begitu juga dengan sebagian morfem terikat, seperti {ter-}, {ber-}, (henti}, dan {juang}. Sedangkan morfem terbagi adalah sebuah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh, yaitu {satu } dan satu morfem terbagi, yakni { ke-/-an } kata perbuatan terdiri dari satu morfem utuh, yaitu {buat} dan satu morfem terbagi, yaitu {per-/-an}.
Sehubungan dengan morfem terbagi ini, untuk bahasa Indone­sia, ada catatan yang perlu diperhatikan, yaitu:
Pertama, semua afiks yang disebut konfiks seperti {ke-/-an}, { ber-/-an } (per-/-an}, dan { pe-/-an } adalah termasuk morfem terbagi. hlamun, bentuk {ber-/-an} bisa merupakan konfiks, dan bermusuhan saling memusuhi; tetapi bisa juga bukan konfiks, seperti pada beraturan dan berpakaian.
Kedua dalam bahasa Indonesia ada afiks yang disebut infiks, yakni afiks yang disisipkan di tengah morfem dasar. Misalnya, afiks {-er} pada kata gerigi, infiks {-el-} pada kata pelatuk, dan infiks {-em-} pa a kata gemetar.
3. Morfem Segmental dan Suprasegmental
Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lihat}, {lah}, {sikat}, dan (ber}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya.
Morfem segmental-suprasegmental sekaligus bersama-sama.
4. Morfem Beralomorf Zero
Dalam linguistik deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf zero atau not (lambangnya berupa Æ), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsur suprasegmental), melainkan bempa ”kekosongan”.

5. Morfem Bermakna Leksikal dan Morfem Tidak Bermakna Leksikal
Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem­-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, morfem-morfem seperti {kuda}, {pergi}, {lari} dan {merah} adalah morfem bermakna leksikal. Oleh karena itu, morfem-morfem seperti ini, dengan sendirinya sudah dapat digunakan secara bebas, dan mempunyai kedudukan yang otonom di dalam pertuturan.
Sebaliknya, morfem tak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri. Morfem ini baru mempunyai makna dalam gabungannya dengan morfem lain dalam suatu proses morfologi. Yang biasa dimaksud dengan morfem tak bermakna leksikal ini adalah morfem-morfem afiks, seperti {ber-}, {me-}, dan {ter-}.
Dalam dikotomi morfem bermakna leksikal dan tak bermakna leksikal ini, untuk bahasa Indonesia timbul masalah. Morfem-morfem §eperti { juang } { henti } dan {gaul} yang oleh Verhaar disebut bentuk prakategoriai, mempunyai makna atau tidak ? Kalau dikatakan mempunyai makna jelas morfem-morfem tersebut tidak dapat berdiri sendiri sebagai bentuk yang otonom di dalam pertuturan. Kalau dikatakan tidak bermakna jelas morfem-morfem itu bukan afrks. Secara semantik, morfem­morfem itu mempunyai makna; tetapi secara gramatikal morfem­morfem tersebut tidak mempunyai kebebasan dan otonomi.
Ada satu bentuk morfem lagi yang perlu dibicarakan atau dipersoalkan mempunyai makna leksikal atau tidak, yaitu morfem-­morfem yang di datam gramatika berkategori sebagai preposisi dan konjungsi. Morfem-morfem yang termasuk preposisi dan konjungsi jetas bukan afiks dan jelas memiiiki makna. Namun, kebebasannya dalam pertuturan juga terbatas, meskipun tidak seketat kebebasan morfem afiks.
4. Mofem Dasar, Bentuk Dasar, Pangkal (Stem), dan Akar (Root)
Istilah morfem dasar biasanya digunakan sebagai dikotomi dengan morfem afiks. Jadi, bentuk-bentuk seperti { juang } {kucing}, dan {sikat} adalah morfem dasar. Morfem dasar ini ada yang termasuk morfem terikat, seperti { juang }, { henti }, dan { abai }; tetapi ada juga yang termasuk morfem bebas, seperti {beli}, {lari}, dan {kucing}, sedangkan morfeol afiks, seperti {ber-}, {ter-}, dan {-kan} jelas semuanya termasuk morfem terikat.
Sebuah morfem dasar da at menjadi sebuah bentuk dasar atau dasar (base) dalam suatu proses morfologi. Artinya, bisa diberi afiks tertentu dalam proses atiksasi, bisa diulang dalam suatu proses reduptikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses komposisi.
Istilah bentuk dasar atau dasar (base) saja biasanya digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang menjadi dasar dalam suatu proses morfologi. Bentuk dasar ini dapat berupa morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfem.
Istilah pangkal (stem) digunakan untuk menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi atau proses pembubuhan afiks inflektif.
Akar (root) digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh lagi. Artinya, akar itu adalah bentuk yang tersisa setelah semua afiksnya, baik afiks infleksional maupun afiks derivasionalnya ditanggalkan.
Mengakhiri subbab ini perlu diketengahkan adanya tiga macam morfem dasar bahasa Indonesia dilihat dari status atau potensinya dalam proses gramatika yang dapat terjadi pada morfem dasar itu. Pertama, adalah morfem dasar bebas, yakni morfem dasar yang secara potensiai dapat langsung. menjadi kata, sehingga langsung dapat digunakan dalam ujaran. Misalnya, morfem {meja}, {kursi}, {perai} dan (kuning}
Kedua, morfem dasar yang kebebasannya dipersoaikan. Yang termasuk ini adalah sejumlah morfem berakar verba, yang dalam kalikmat imperatif atau katimat sisipan, tidak perlu diberi imbuhan; dan dalam kalimat deklaratif imbuhannya dapat ditanggalkan.
Ketiga morfem dasar terikat, yakni morfem dasar yang tidak mempunyai potensi untuk menjadi kata tanpa terlebih dahulu mendapat proses morfologi. Misalnya, morfem-morfem { juang }, {henti}, {gaul}, dan {abai }.
B. Kata
Secara panjang lebar pada subbab 5.1 di atas telah dibicarakan mengenai satuan gramatikal yang disebut morfem. Namun, istilah dan konsep morfem ini tidak dikenal oleh para tata bahasawan tradisional. Yang ada dalam tata bahasa tradisional sebagai satuan lingual yang selalu dibicarakan adalah satuan yang disebut kata. Apakah kata itu, bagaimana kaitannya dengan morfem, bagaimana klasifikasinya, serta bagaimana pembentukannya, akan dibicarakan berikut ini.
1. Hakikat Kata
Para tata bahasawan tradisional biasanya memberi pengertian terhadap kata berdasarkan arti dan ortografi. Menurut mereka kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan mempunyai satu arti. Pendekatan arti dan ortografi dari tata bahasa tradisionai ini banyak menimbulkan masalah. Kata-kata seperti sikat, kucing dan spidol memang bisa dipahami sebagai satu kata; tetapi bentuk-bentuk seperti matahari tiga puluh dan luar negeri apakah sebuah kata, ataukah dua buah kata, bisa diperdebatkan orang. Pendekatan ortografi untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf Latin, bisa dengan mudah dipahami, meskipun masih timbul persoalan. Tetapi pendekatan ortografi ini agak sukar diterapkan untuk bahasa yang tidak menggunakan huruf Latin,
Para tata bahasawan struktural, terutama penganut aliran Bloomfield, tidak lagi membicarakan kata sebagai satuan lingual; dan menggantinya dengan satuan yang disebut morfem.
Para linguis setelah Bloomfield juga tidak menaruh perhatian khusus terhadap konsep kata. Tidak dibicarakannya hakikat kata secara khusus oleh kelompok Bloomfield dan pengikutnya adalah karena dalam analisis bahasa, mereka melihat hierarki bahasa sebagai: fonem, morfem, dan kalimat. Berbeda dengn tata bahasa tradisional yang melihat hierarki bahasa sebagai: fonem, kata, dan kalimat.
Batasan kata yang umum kita jumpai dalam berbagai buku linguistik Eropa adalah bahwa kata merupakan bentuk yang ke dalam mempunyai susunan fonologis yang stabil dan tidak berubah dan keluar mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam kalimat. Batasan tersebut menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah serta tidak dapat diselipi atau diselang oleh fonem lain.
Kedua, setiap kata mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat, atau tempatnya dapat diisi atau digantikan oleh kata lain; atau juga dapat dipisahkan dari kata lainnya.
2. Klasifikasi Kata
Istilah lain yang biasa dipakai untuk klasifikasi kata adalah penggolongan kata, atau penjenisan kata; dalm peristilahan bahasa Inggris disebut juga part of speech. Klasifikasi kata ini dalam sejarah lingguistik selalu menjadi salah satu topik yang tidak pernah terlewatkan. Hal ini terjadi, karena, pertama setiap bahasa mempunyai cirinya masing­-masing; dan kedua, karena kriteria yang digunakan untuk membuat klasifikasi kata itu bisa bermacam-macam.
Para tata bahasawan tradisional mengguaakan kriteria makna dan kriteria tungsi. Kriteria makna digunakan urltuk mengidentifikasikan kelas verba, nomina, dan ajektifa; sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk mengidentifikasikan preposisi, konjungsi, adverbia, pronomina, dan lain-lainnya. Verba adalah kata yang menyatakan tindakan atau perbuatan; yang disebut nomina adalah kata yang menyatakan benda atau yang dibendakan; dan yang disebut konjungsi adalah kata yang bertugas atau berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, atau bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain.
Para tata bahasawan strukturalis membuat klasifikasi kata berdasarkan distribusi kata itu dalam suatu struktur atau konstruksi. Misalnya, yang disebut nomina adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata bukan; atau dapat mengisi konstruksi bukan ….. Jadi, kata-kata seperti buku, pinsil dan nenek adalah termasuk nomina, sebab dapat berdistribusi di belakang kata bukan itu. Yang termasuk verba adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata tidak, atau dapat mengisi konstruksi tidak ….. Jadi, kata-kata seperti makan, minum, lari adalah termasuk kelas verba, karena dapat berdistribusi di belakang kata tidak itu. Lalu, yang disebut ajektifa adalah kata-kata yang dapat berdistribusi di betakang kata sangat, atau dapat mengisi konstruksi sangat ….. Jadi, kata-kata seperti merah, nakal, dan cantik adalah termasuk ajektifa karena dapat berdistribusi di belakang kata sangat itu.
Ada juga kelompok linguis yang menggunakan kriteria fungsi sintaksis sebagai patokan untuk menentukan kelas kata. Secara umum, fungsi subjek diisi oleh kelas nomina; fungsi predikat diisi oleh verba atau ajektifa; fungsi objek oleh kelas nomina; dan fungsi keterang oleh adverbia. Oleh kartena itu semua kata yang menduduki fungsi.
Klasifikasi atau penggolongan kata itu memang perlu. Dengan mengenal kelas sebuah kata, yang dapat kita identifikasikan dari ciri-cirinya, kita dapat memprediksikan penggunaan atau mendistribusian kata itu di dalam ujaran, sebab hanya kata-kata yang berciri atau beriden­tifikasi yang sama saja yang dapat menduduki suatu fungsi atau suatu distribusi di dalam kalimat.
3. Pembentukan Kata
Untuk dapat digunakan di dalam kalimat atau pertuturan tertentu, maka setiap bentuk dasar, terutama dalam bahasa fleksi dan aglutunasi, harus dibentuk lebih dahulu menjadi sebuah kata gramatikal, baik melalui proses afiksasi, proses reduplikasi, maupun proses komposisi.
Pembentukan kata ini mempunyai dua sifat, yaitu pertama membentuk kata-kata yang bersifat inflektif, dan kedua yang bersifat derivatif.
a. Inflektif
Alat yang digunakan untul penyesuaian bentuk itu biasanya berupa afiks, yang mungkin berupa prefiks, infiks, dan sufiks; atau juga berupa modifikasi internal, yakn perubahan yang terjadi di dalam bentuk dasar itu.
Perubahan atau penyesuaian bentuk pada verba disebut konyugasi, dan perubahan atau penyesuaian pada nomina dan ajektif disebut deklinasi. Konyugasi pada verba biasanya berkenaan dengan kala (tense), aspek, modus, diatesis, persona, jumlah, dan jenis Sedangkan deklinasi biasanya berkenaan dengan jumlah, jenis, dai kasus.
Hanya bentuknya saja yang berbeda, yang disesuaikan dengan kategori gramatikalnya. Bentuk-bentuk tersebut dalam morfologi infleksional disebut para­digma infleksional.
Verhaar (1978), menyatakan bentuk-bentuk seperti membaca, dibaca, terbaca, kaubaca, dan bacalah adalah paradigma infleksional. Dengan kata lain, bentuk-bentuk tersebut merupakan kata yang sama, yang berarti juga mempunyai identitas jeksikal yang sam. Perbedaan bentuknya adalah berkenaan dengan modus kalimatnya.
b. Derivatif
Pembentukan kata secara infektif, tidak membentuk kata baru, atau kata lain yang berbeda identitas leksikalnya dengan bentuk dasarnya. Hat ini berbeda dengan pembentukan kata secara derivatif atau derivasional. Pembentukan kata secara derivatif membentuk kata baru, kata yang identitas teksikalnya tidak sama dengan kata dasarnya.
c. Proses Morfemis
Di atas dalam pembicaraan tentang infleksi dan derivasi sudah dibicarakan sebagian kecil dari proses morfemis, atau proses morfologis, atau juga proses gramatikal, khususnya pemben­tukan kata dengan afiks. Namun, hal ihwal afiksnya itu sendiri belum dibicarakan. Oleh karena itu, berikut ini akan dibicarakan proses-proses morfemis yang berkenaan dengan afiksasi, reduplikasi, konposisi, dan juga sedikit tentang konversi dan modifikasi intem. Kiranya perlu juga dibicarakan produktifitas proses-proses morfemis itu.
1. Afiksasi
Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Dalam proses ini terlibat unsur-unsur (1) dasar atau bentuk dasar, (2) afiks, dan (3) makna gramatikal yang dihasilkan. Proses ini dapat bersifat inflektif dan dapat pula bersifat derivatif. Namun, proses ini tidak berlaku untuk semua bahasa. Ada sejumlah bahasa yang tidak mengenal proses afiksasi ini.
Bentuk dasar atau dasar yang menjadi dasar dalam proses afiksasi dapat berupa akar, yakni bentuk terkecil yang tidak dapat disegmen­tasikan lagi, misalnya meja, beli, makan, dan sikat dalam bahasa Indonesia; atau go; write, sing, dan like dalam bahasa Inggris.
Afiks adalah sebuah bentuk, biasanya berupa morfem terikat, yang diimbuhkan pada sebuah dasar dalam proses pembentukan kata. Sesuai dengan sifat kata yang dibentuknya, dibedakan adanya dua jenis afiks, yaitu afiks inflektif dan afiks derivatif. Yang dimaksud dengan afiks inflektif adalah afiks yang digunakan dalam pembentukan kata-kata inflektif atau paradigma infleksional.
Prefiks adalah afiks yang diimbuhkan di muka bentuk dasar, seperti me- pada kata menghibur, un- pada kata Inggris unhappy dan pan- pada kata Tagalog panulat ‘alat tulis’ Infiks adalah afiks yang diimbuhkan di tengah bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia, misalnya infiks – el- pada kata telunjuk, dan -er- pada kata seruling, dalam bahasa Sunda -ar- pada kata barudak dan tarahu. Dalam bahasa Sunda infiks ini cukup produktif, tetapi dalam bahasa Indonesia tidak produktif.
Yang dimaksud dengan sufiks adalah afiks yang diimbuhkan pada posisi akhir bentuk dasar. Umpamanya, dalam babasa Indonesia, sufiks -an pada kata bagian, dan sufiks -kan pada kata bagikan. Konfiks adalah afiks yang berupa morfem terbagi, yang bagian pertama berposisi pada awal bentuk dasar, dan bagian yang kedua berposisi pada akhir bentuk dasar.
Ada konfiks per-/-an seperti terdapat pada kata pertemuan, konfiks ke-/-an seperti pada kata keterangan, dan konfiks ber-/-an seperti terdapat pada kata berciuman.
Yang dimaksud dengan interfiks adalah sejenis infiks atau ele­men penyambung yang muncul dalam proses penggabungan dua buah unsur.
2. Reduplikasi
Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi. seperti meja-meja (dari dasar meja), reduplikasi sebagian seperti lelaki (dari dasar laki), dan reduplikasi denga perubahan bunyi, seperti bolak-balik (dari dasar balik). Reduplikasi semu, seperti mondar-mandir, yaitu sejenis bentuk kata yang tampaknya sebagai hasil reduplikasi, tetapi tidak jelas bentuk dasarnya yang diulang.
Bahasa Jawa dan bahas Sunda. Istilah-istilah itu adalah (a) dwilingga, yakni pengulangan morfem dasar, seperti meja-meja, aki-aki dan mlaku-mlaku ”berjalan-jalan”, (b) dwilingga salin suara, yakni pengulangan morfem dasa dengan perubahan vokal dan fonem lainnya, seperti bolak-balik, langak longok, dan mondar-mandir; (c) dwipurwa, yakni pengulangan silabel pertama, seperti lelaki, peparu, dan pepatah; (d) dwiwasana, yakn pengulangan pada akhir kata, seperti cengengesan ”selalu tertawa” yang terbentuk dari cenges ”tertawa”, dan (e) trilingga, yakni pengulangan morfem dasar sampai dua kali, seperti dag-dig-dug, cas-cis-cus, dan ngak-ngik-ngok.
Proses reduplikasi dapat bersifat paradigmatis (infleksional) dan dapat pula bersifat derivasional. Reduplikasi yang paradigmatis tidak mengubah identitas leksikal, melainkan hanya memberi makna gramatikal. Misalnya, meja-meja berarti ”banyak meja” dan kecil-kecil yang berarti ”banyak yang kecil”. Yang bersifat derivasional membentuk kata baru atau kata yang identitas leksikalnya berbeda dengan bentuk dasarnya. Dalam bahasa Indonesia bentuk laba-laba dari dasar laba dan pura-pura dari dasar pura.
Khusus mengenai reduplikasi dalam bahasa Indonesia ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan, yakni :
Pertama, bentuk dasar reduplikasi dalam bahasa Indonesia dapat berupa morfem dasar seperti meja yang menjadi meja-meja, bentuk berimbuhan seperti pembangunan yang menjadi pembangunan­-pembangunan, dan bisa juga berupa bentuk gabungan kata seperi surat kabar yang menjadi surat-surat kabar atau surat kabar-surat kabar.
Kedua, bentuk reduplikasi yang disertai afiks prosesnya mungkin: (1) proses reduplikasi dan proses afiksasi itu terjadi bersamaan seperti pada bentuk berton-ton dan bermeter-meter; (2) proses reduplikasi terjadi lebih dahulu, baru disusul oleh proses afiksasi, seperti pada berlari-lari dan mengingat-ingat (dasarnya lari-lari dan ingat-ingat); (3) proses afiksasi terjadi lebih dahulu, baru kemudian diikuti oleh proses reduplikasi, seperti pada kesatuan-kesatuan dan memukul-­memukul (dasamya kesatuan dan memukul.
Ketiga, pada dasar yang berupa gabungan kata, proses reduplikasi mungkin harus berupa reduplikasi penuh, tetapi mungkin juga hanya berupa reduplikasi parsial. Misalnya, ayam itik -ayam itik dan sawah ladang-sawah ladang (dasamya ayam itik dan sawah la­dang) contoh yang reduplikasi penuh, dan surat-surat kabar serta rumah-rumah sakit (dasamya surat kabar dan rumah sakit) contoh untuk reduplikasi persial.
Keempat, banyak orang menyangka bahwa reduplikasi dalam bahasa Indonesia hanya bersifat paradigmatis dan hanya memberi makna jamak atau kevariasian. Namun, sebenamya reduplikasi dalam bahasa Indonesia juga bersifat derivasional. Oleh karena itu, munculnya bentuk-bentuk seperti mereka-mereka, kita-kita, kamu-kamu, dan dia-­dia tidak dapat dianggap menyalahi kaidah bahasa Indonesia.
Kelima, ada pakar yang menambahkan adanya reduplikasi semantis, yakni dua buah kata yang maknanya bersinonim membentuk satu kesatuan gramatikal. Misalnya, ilmu pengetahuan, hancur, luluh, dan alim ulama.
Keenam, dalam bahasa Indonesia ada bentuk-bentuk seperti kering kerontang, tua renta, dan segar bugar di satu pihak; pada pihak lain ada bentuk-bentuk seperti mondar-mandir, tunggang-langgang, dan komat-kamit, yang wujud bentulrnya perlu dipersoalkan. Kelompok pertama, yang salah satu komponennya berupa morfem bebas dan komponen yang lain berupa morfem unik, apakah merupakan bentuk reduplikasi berubah bunyi, ataukah berupa bentuk komposisi ? Kelompok kedua, yang kedua komponennya bempa morfem terikat, apakah merupakan bentuk reduplikasi atau bukan, sebab masing-masing komponennya tidak dapat ditentukan sebagai bentuk dasamya. Jadi, manakah yang diulang? Begitu juga dengan bentuk rama-rama, sema-­sema, ani-ani, dan tupai-tupai; serta bentuk-bentuk seperti pipi, kuku, sisi, dan titi, perlu dan bisa dipersoalkan apakah hasil proses reduplikasi ataukah bukan.
3. Komposisi
Komposisi adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat sehingga terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda, atau yang baru.
Dalam bahasa Indonesia proses komposisi ini sangat produktif. Hal ini dapat dipahami, karena dalam perkembangannya bahasa jndonesia banyak sekali memerlukan kosakata untuk menampung konsep-konsep yang belum ada kosakatanya atau istilahnya dalam bahasa Indonesia.
Produktifnya proses komposisi itu dalam bahasa Indonesia menimbulkan berbagai masalah dan berbagai pendapat karena komposisi itu memiliki jenis dan makna yang berbeda-beda. Masalah­-masalah itu antara lain masalah kata majemuk aneksl, dan frase.
Para ahli tata bahasa tradisional, seperti Sutan Takdir Alisjahbana (1953), yang berpendapat bahwa kata majemuk adalah sebuah kata yang memiliki makna baru yang tidak merupakan gabungan makna unsur-unsumya.
Kelompok linguis lain, yang berpijak pada tata bahasa struktural menyatakan suatu komposisi disebut kata majemuk, kalau di antara unsur-unsur pembentuknya tidak dapat disisipkan apa-apa tanpa merusak kom­posisi itu. Bisa juga suatu komposisi disebut kata majemuk kalau unsur-­unsurnya tidak dapat dipertukarkan tempatnya.
Ada lagi kelompok lain yang membandingkan dengan kata majemuk dalam bahasa-bahasa Barat. Dalam bahasa Inggris, misalnya, kata majemuk dan bukan kata majemuk berbeda dalam hal adanya tekanan.
Linguis kelompok lain, ada juga yang menyatakan sebuah komposisi adalah kata majemuk kalau identitas leksikal komposisi itu sudah berubah dari identitas leksikal unsur-unsurnya.
Verhar (1978) menyatakan suatu komposisi disebut kata majemuk kalau hubungan kedua unsurnya tidak bersifat sintaksis.
Kridalaksana (1985) menyatakan kata majemuk haruslah tetap berstatus kata, kata majemukj harus dibedakan dari idiom sebab kata majemuk adalah konsep sintaksi,s edangkan idiom adalah konsep semantis.
4. Konversi, Modifikasi, Internal dan Suplesi
Konversi, sering juga disebut derivasi zero, transmutasi dan transposisi, adalah proses pembentukan kata dari sebuah kata menjadi kata lian tanpa perubahan unsur segmental.
Modifikasi internal (sering disebut juga penam bahan internal atau perubahan internal) adalah proses pembentukan kata dengan penambahan unsur-unsur (yang biasanya berupa vokal) ke dalam morfem yang berkerangka tetap.
5. Pemendekan
Pemendekan adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk utuhnya Hasil proses pemendekan ini kita sebut kependekan Misalnya bentuk lab (utuhnya laboratorium), hlm (utuhnya halaman) l (utuhnya liter), hankam (utuhnya pertahanan dan keamanan), dan SD (utuhnya Sekolah Dasar).
Penggalan adalah kependekan berupa pengekalan satu atau dua suku pertama dari bentuk yang dipendekkan itu Mi­salnya, lab, atau labo dari laboratorium dok dari bentuk utuh dokter, dan perpus dan bentuk utuh perpustakaan Yang dimaksud dengan smgkatan adalah hasil proses pemendekan
A.    Pengekalan huruf awal dari sebuah leksem, atau huruf-huruf awal dari gabungan (eksem. Misalnya: I (liter), R (radius), H. (haji), kg (kilogram), km (kilometer), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan UI (Universitas Indonesia).
B.     Pengekatan beberapa huruf dari sebuah leksem. Misalnya: hlm (halaman), dng (dengan), rhs (rahasia), dan bhs (bahasa).
C.     Pengekalan hurut pertama dikombinasi dengan penggunaan angka untuk penggauti huruf yang sama. Misalnya: P3 (partai persatuan pembangunan), P4 (pedoman penghayatan pengamalan Pancasila), Lp2P {laporan pajak-pajak pribadi, dan P3AB (proyek percepatan pengadaan air bersih).
D.    Pengekalan dua, tiga, atau empat huruf pertama dari sebuah leksem. Misalnya: As (asisten), Ny. (Nyonya), Okt (Oktober), Abd (Abdul), dan pum (pumawirawan).
E.     Pengekalan huruf pertama dan huruf terakhir dari sebuah leksem. Misalnya: Ir (insinyur), Fa (Firma), Jo (juncto), dan Pa (perwira).
Akronim adalah hasil pemendekan yang berupa kata atau dapat dilafalkan sebagai kata. Wujud pemendekannya dapat berupa penge­kalan huruf huruf pertama berupa pengekalan suku-suku kata dari gabungan leksem, atau bisa juga secara tak beraturan.
Pemendekan merupakan proses yang cukup produktif, dan terdapat hampir pada semua bahasa. Produktifnya proses pemendekan ini adalah karena keinginan untuk menghemat tempat (tulisan), tentu juga ucapan.
Dalam bahasa Indonesia pemendekan ini menjadi sangat produktif adalah karena bahasa Indonesia seringkali tidak mempunyai kata untuk menyatakan suatu konsep yang agak pelik atau sangat pelik.
Keproduktifan pemendekan ini dalam Bahasa Indonesia tampak juga dari adanya bentuk yang sudah merupakan hasil pemendekan dipendekkan lagi karena bentuk yang sudah merupakan kependekan itu diberi deskripsi lagi, sehingga menjadi bentuk yang cukup panjang, dan karena itu pedu dipendekkan lagi.
6. Produktivitas Proses Morfemis
Yang dimaksud dengan produktivitas dalam proses morfemis ini adalah dapat tidaknya proses pembentukan kata itu terutama afiksasi, reduplikasi, dan komposisi digunakan berulang-ulang yang secara relatif tak terbatas; artinya, ada kemungkinan menambah bentuk baru dengan proses tersebut. Proses inflektif atau paradigmatis karena tidak membentuk kata baru, kata yang identitas leksikalnya tidak sama dengan bentuk dasamya, trdak dapat dikatakan proses yang produktif. Proses inflektif bersifat tertutup.
Proses derivasi bersifat terbuka. Artinya penutur suatu bahasa dapat membuat kata kata baru dengan aroses tersebut. Proses derivasi adalah produktif, sedangkan proses infleksi tidak produktif.
Namun, perlu diketahui ke produktifan proses derivasi ini, dan penambahan alternan –alternan baru pada daftar derivasional, dibatasi oleh kaidah-kaidah yang sudah ada. Misalnya pembentukan kata baru dengan prefiks memper- terbatas pada dasar ajektival dan dasar nu­meral; dan tidak dapat ada dasar verbal
Selain itu perlu juga di perhatian, meskipun kaidah mengizinkan untuik terbentuknya suatu kata, namun dalam kenyataan berbahasa bentuk-bentuk tersebut tidak terdapat.
Tidak adanya sebuah bentuk yang seharusnya ada. Fenomena ini terjadi karena adanya bentuk lain yang menyebabkan tidak adanya betnuk yang dianggap seharusnya ada.
Dalam bahasa Indonesia yang ada tampaknya bukan kasus bloking, melainkan ”persaingan” antara kata derivatif dengan bentuk atau konstruksi frase yang menyatakan bentuk dasar dengan maknanya.
Bentuk-bentuk yang menurut kaidah gramatikal dimungkinkan keberadaannya, tetapi ternyata tidak pernah ada, seperti mencatikan dan memisau di atas disebut bentuk yang potensial yang pada suatu saat kelak mungkin dapat muncul Sedangkan bentuk-bentuk yang nyata ada, seperti bentuk menjelekkan dan bersepeda disebut bentuk-bentuk aktual.
4. Morfofonemik
Morfofonemik, disebut juga morfonemik, morfofonologi, atau morfonologi, atau peristiwa berubahnya wujud morfemis dalam suatu proses morfologis, baik afiksasi, reduplikasi maupun komposisi.
Perubahan fonem dalam proses merfofonemik ini dapat ber­wujud: (1) pemunculan fonem (2) pelesapan fonem (3) peluluhan fonem, (4) perubahan fonem, dan (5) pergeseran fonem. Pemunculan fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan prefiks me- dengan bentuk dasar baca yang menjadi membaca; di mana terlihat muncul konsonan sengau /m/ Juga dalam proses pengimbuhan sufiks -an dengan bentuk dasar hari yang menjadi /hariyan / di mana terlihat ­muncul konsonan /y/ yang semula tidak ada. Pelesapan fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan akhiran wan pada kata sejarah di mana fonem /h/ pada kata sejarah itu menjadi hilang; juga dalam proses penggabungan kataanak dan partikel -nda di mana fonem /k/ pada kata anak menjadi hilang dan juga dalam pengimbuhan dengan prefiks ber- pada kata renang di mana fonem /r/ dan prefiks itu dihilangkan.
Proses peluluhan fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan dengan prefiks me- pada kata sikat di mana fonem /s/ pada kata sikat itu diluluhkan dan desenyawakan dengan bunyi nasal /ny/ dan prefiks tersebut.
Proses perubahan fonem dapat kita lihat pada proses pengimbuhan prefiks ber- pada kata ajar di mana fonem /r/ dari prefiks itu berubah menjadi fonem /l/.
Proses pergeseran fonem adalah pindahnya sebuah fonem dari silabel yang satu ke silabel yang lam biasanya ke silabel berikutnya dalam prose pengimbuhan sufiks /an/ pada kata jawab di mana-fonem /b/ yang semula berada pada silabel /wab/ pindah kesilabel /ban/.
Seperti tampak dari namanya, yang merupakan gabungan dari dua bidang studi yaitu morfologi dan fonologi, atau morfoiogi dan fonemik, bidang kajian morfonologi atau morfofonemik ini, meskipun biasanya dibahas dalam tataran morfologi, tetapi sebenamya lebih banyak menyangkut masalah fonologi. Kajian ini tidak dibicarakan dalam tataran fonologi karena masalahnya baru muncul dalam kajian morfologi terutama dalam proses afiksasi reduplikasi dan komposisi. Masalah morfofonemik ini terdapat hampir pada semua bahasa yang mengenal proses-proses morfologis.